Surat untuk Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta

Pak Anies gubernur baru DKI Jakarta, saya hanya ingin menyampaikan unek-unek. Mumpung jalan Pak Anies masih baru, namun sudah mulai disibukkan mengerjakan banyak hal guna mengatasi seabrek masalah warga.

Pak Anies yang baik,

Saya termasuk yang berharap banyak dari Pak Anies, bukan karena kebetulan agama saya sama dengan Pak Anies, tetapi karena Jakarta butuh dipimpin pemimpin yang mampu melakukan pendekatan yang berbeda dengan Pak Ahok sebelumnya.

Pak Ahok tak sepenuhnya buruk seperti dirisaukan banyak pendemo berjilid-jilid itu. Saya rasa, jika kita mau jujur, ada hal-hal positif dari hasil kerja Pak Ahok. Namun, mindset pembangunan Pak Ahok yang terlalu condong melayani kepentingan pemodal, membuat terpinggirnya kalangan kelas menengah bawah.

Pak Anies pasti sadar, bahwa kelas menengah bawah itulah yang menggantungkan harapan kepada Pak Anies. Dulu mereka mengharapkan kepada duet Jokowi-Ahok yang menjanjikan Jakarta Baru dengan pendekatan yang lebih merakyat ala Pak Jokowi. Namun harapan mereka pupus. Kini, apakah harapan mereka jua akan pupus di tangan Pak Anies? Saya berharap tidak. Dan saya mendoakan Pak Anies mampu menjawab harapan mereka dengan baik melalui kebijakan dan program yang berpihak kepada kelas menengah bawah tersebut.

Pak Anies, pendekatan-pendekatan lama yang cenderung teknokratis dan berjarak dengan rakyat, harusnya mulai diganti. Libatkanlah rakyat, karena rakyat sudah tahan uji dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada, bisa jadi rakyat sudah tahu bagaimana menyelesaikan masalah yang ada. Birokrasi yang melayani, tidaklah cukup, birokrasi juga harus mau mendengar, menggerakkan, dan memberdayakan, bekerja bersama rakyat, tidak terkucil di pojok ruangan ber-AC, di belakang meja penuh kertas laporan, dan di depan komputer yang hanya dibuka untuk menulis laporan rutin. Harusnya tak lagi zamannya birokrasi bekerja sekedar menjalankan rutinitas dan menghabiskan anggaran. Apa guna serapan anggaran tinggi tapi rakyat merasakan bahwa persoalan Jakarta belum tuntas? Jangan sampai sekedar mengerjakan sesuatu dengan alasan sudah dari dulu begitu atau sudah dari sononya. Jika suatu pendekatan terbukti sudah gagal berulang kali, mandek, dan tak ada kemajuan, harusnya berani mencari cara lain, pendekatan lain, opsi lain, di situlah peran penting Pak Anies. Bahwa ada cara lain yang mungkin, di luar yang sudah-sudah, dalam menyelesaikan masalah yang sudah lama tak kunjung selesai.

Saya yakin Pak Anies lebih paham dan sudah sejak lama mempraktekkannya. Namun kini Pak Anies tidak praktek sendirian, Pak Anies sebagai lokomotif harus mampu menarik gerbong-gerbong birokrasi bekerja dengan mindset dan pendekatan yang sama. Bila perlu, seperti kereta modern, lajunya tak hanya dikendalikan oleh lokomotif di depan, namun tiap gerbong memiliki tenaga utama untuk bergerak, namun tetap searah setujuan kemana mengikuti lokomotif.

Pak Anies yang baik,

Akhir-akhir ini, bahkan mungkin berbilang bulan, saya risau mendengar berbagai pernyataan Pak Anies dan Bang Sandi di media massa. Terkadang terlihat kurang sinkron, terlihat kurang matang.

Pak, saya tahu media mungkin tak sepenuhnya tepat mengutip, tetapi bila terus menerus terjadi, harusnya Pak Anies memahami bagaimana mencari solusi agar tidak salah dikutip. Pertemuan dengan jurnalis memang singkat, dengan sederet pertanyaan yang harus bapak jawab dengan padat, ringkas, dan langsung menjawab persoalan. Tidak mudah pasti. Berbeda dengan pidato atau diskusi di mimbar akademis atau ruang-ruang belajar. Tetapi justru di situlah seninya, Saya yakin Pak Anies sudah memahami dan mempraktekannya lebih baik dari saya yang cuma rakyat jelata ini.

Pak Anies yang baik,

Ada baiknya Pak Anies lebih mengatur tempo dalam memberi pernyataan, agar pernyataan yang keluar sepenuhnya clear, bukan sekedar wacana, apalagi wacana setengah matang. Saya rasa tak semua pemimpin daerah menguasai banyak hal teknis. Dan Saya yakin Pak Anies tak berhenti belajar untuk bisa memahami hal-hal teknis di luar bidang keilmuan Bapak. Karena walau bagaimanapun, Bapak pasti harus memahaminya, bukan? Untuk keperluan mengambil kebijakan, mengontrol kinerja birokrasi, dan memberi pernyataan publik melalui tinta jurnalis.

Bapak sudah dikelilingi birokrasi yang sudah malang melintang di dunia persilatan, dikelilingi para staf ahli atau tim yang ahli di bidang yang dibutuhkan, tak ada salahnya sedikit menahan diri dari memberi pernyataan ke publik (lewat jurnalis) jika memang sesuatu hal belum matang benar. Pun soal sinkronisasi pernyataan Pak Anies dan Bang Sandi, apakah gerangan yang terjadi? Apakah ada matahari kembar di Balaikota? Atau ada dua kepala yang berbeda dan jarang bertukar pikiran karena sudah sangat sibuk dengan rutinitas masing-masing? Manfaatkanlah biro humas atau semacamnya untuk membuat semua pernyataan publik yang keluar dari mulut Pak Anies dan Bang Sandi menjadi selaras, atau keduanya harus lebih berhati-hati dan menahan diri untuk tidak memberikan pernyataan publik jika belum pasti diketahui bersama. Contoh kasus, Pak Jokowi tak selalu memberi pernyataan ke publik, beliau terkadang cuma tersenyum atau menunda menjawab dengan gestur yang penuh senyuman. Tak masalah saya rasa demikian, daripada pernyataan yang keluar malah prematur dan tidak sinkron satu sama lain.

Pak Anies yang baik,

Akhir-akhir ini juga saya risau. Pak Anies mulai mencari kambing hitam dari persoalan yang ada. Masalah Jakarta memang seabrek, dan saya yakin akar masalahnya kompleks, itu mengapa perlu pendekatan yang komprehensif dalam mengatasinya. Bagi para pemimpin yang tak mau disalahkan, mudah mencari kambing hitam, karena toh biang masalahnya banyak. Pak Anies tentu masih ingat bagaimana Pak Ahok terjebak dalam pencarian kambing hitam ini. Pak Ahok gemar menuding pihak lain sebagi biang keladi masalah. Ambil contoh kasus masalah Banjir. Pak Ahok berulang kali mencari kambing hitam, dari mulai PLN, kabel gorong-gorong, orang miskin di pinggir kali, dan lainnya.

Kegemaran Pak Ahok ini, sayangnya dibenarkan oleh buzzer-buzzer yang mendukungnya. Dibenarkan pula oleh seleb dan kelas menengah yang puber politik. Sehingga Pak Ahok seolah di-Nabi-kan, tak mungkin salah, maka bila ada masalah pastinya itu berasal dari pihak lain, bukan sang Nabi, karena Nabi tak mungkin salah.

Pak Anies juga jangan latah untuk menyalahkan gubernur sebelumnya. Memang benar bahwa persoalan Jakarta tak baru muncul baru-baru ini, dan pastinya kepemimpinan Jakarta sebelumnya punya andil dalam membuat masalah tersebut belum sepenuhnya diatasi. Tetapi Pak, lagi-lagi, itu hanya perilaku mencari kambing hitam, tak akan menyelesaikan masalah, dan hanya memperlihatkan ketakutan untuk disalahkan.

Pak Anies pasti sudah tahu, Pak Jokowi yang Bapak dukung hingga menjadi Presiden, beberapa kali terjebak pada perilaku menyalahkan pemimpin sebelumnya. Dan karena selalu dibenarkan oleh buzzer dan fanboy-fanboy politik, maka seolah perilaku Pak Jokowi tersebut menjadi benar. Sama dengan Pak Ahok, Pak Jokowi oleh pendukungnya seolah diposisikan menjadi seorang Nabi yang selalu benar dan tak mungkin salah. Jika ada masalah, pasti penyebabnya karena pemimpin sebelumnya. Jika Pak Jokowi dituding gagal mengatasi masalah atau malah menimbulkan masalah, pasti si penuding akan dibully oleh pendukung-pendukung Jokowi tersebut, dilekatkan julukan, predikat, dan stereotip yang negatif pada si penuding.

Saya yakin, dulu Pak Anies mendukung Pak Jokowi hanya sebagai Presiden, bukan sebagai Nabi. Dan Pak Anies pasti tidak mau Pak Jokowi yang Bapak dukung diposisikan seperti Nabi oleh pendukungnya. Nah, kini Pak Anies bagaimana melihat diri sendiri? Apakah Pak Anies merasa didukung menjadi seorang gubernur Jakarta yang bertugas melayani rakyat, ataukah didukung menjadi Nabi? Pak Anies pasti sudah tahu jawabannya.

Selamat bekerja Pak Anies,

Salam sejahtera lahir dan batin.

*Sumber gambar: brilio.net

Persib Bandung Juara Paruh Musim

Persib Bandung baru saja menyelesaikan pertandingan terakhir di paruh musim pertama (Pertandingan ke-17) melawan Persebaya Surabaya dengan meraih kemenangan. Dengan hasil tersebut, Persib bercokol di puncak kelasemen dengan 29 poin, hanya unggul 1 poin dari peringkat dua dan tiga, Barito Putera dan PSM Makassar.

Meski baru paruh musim, namun capaian Persib hingga bisa duduk di puncak kelasemen merupakan sesuatu yang luar biasa dan tak terbayangkan pada awal musim.

Terlambat di Awal Musim

Setelah musim lalu Persib harus malu karena hanya berada di peringkat 13 kelasemen akhir, Persib harusnya sudah mulai ancang-ancang untuk musim ini. Apalagi mundurnya pelatih utama Persib saat itu, Djajang Nurjaman, sudah sejak paruh musim.

Posisi pelatih utama sangat vital jika Persib ingin memperbaiki kinerjanya, karena pelatih-lah yang akan menilai pemain lama mana yang cocok dengan skemanya dan harus bertahan, serta sektor mana yang harus diperbaiki dengan mendatangkan pemain baru. Sayangnya Persib alih-alih segera memilih pelatih baru untuk musim berikutnya pasca Djanur mundur, malah menunjuk pelatih sementara.

Lamanya proses rekrutmen pelatih utama, berdampak pada terlambatnya Persib pada bursa transfer. Saat pelatih baru, Mario Gomez sudah sah dikontrak, mayoritas pemain bagus sudah terikat kontrak dengan klub lain. Gomez hanya disodorkan beberapa mantan pemain Persib yang sudah menua, entah semacam ingin mengenang kejayaan masa lalu atau kebuntuan mendapatkan pemain bagus.

Terbatasnya stok pemain di bursa transfer yang masih tersisa membuat Persib harus rela mendepak pemain asing seperti Michael Essien, untuk mengisinya dengan pemain asing lain sesuai kebutuhan tim. Ini juga menandakan bahwa banjir uang yang diguyurkan Persib pada musim lalu tak berjalan lancar. Publik tentu masih ingat duit Persib terbuang sia-sia musim lalu karena pembelian mantan penyerang West Ham United, Carlton Cole. Nama besar saja tak cukup baik jika sudah menua. Cole harus terdepak dari skuad di paruh musim, hanya sebagai penghangat bangku cadangan. Ezzechiel N’Douassel yang didatangkan di paruh musim, masih gagal bersinar di musim lalu. Ezzechiel hanya mencetak empat (4) gol, jauh lebih sedikit dari jumlah kartu kuning yang dia terima (5 kartu).

Memasuki turnamen pra-musim bernama Piala Presiden, asa Persib kian menjulang, seolah publik ingin bukti bahwa Persib siap bangkit. Sayangnya yang terjadi malah sebaliknya, Persib harus berhenti di fase grup. Meskipun Gomez menyebut turnamen pra-musim bukanlah tujuan utama, namun publik tentu masih digelayuti keraguan akan nasib Persib di kompetisi resmi. Apalagi melihat musuh bebuyutannya, Persija Jakarta yang malah bisa juara turnamen pra-musim dan memiliki seorang penyerang ganas.

Perubahan ala Gomez

Dari kelasemen sementara, terlihat Persib merupakan klub papan atas kelasemen dengan jumlah kebobolan paling sedikit, hanya kebobolan 16 gol (sama dengan Perseru Serui yang ada di peringkat 15 kelasemen). Hal ini membuat selisih gol persib paling baik diantara semua klub lainnya, yakni surplus 10 gol. Persib juga tim dengan jumlah kekalahan paling sedikit, hanya kalah dalam 4 pertandingan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sistem pertahanan Persib mampu disulap Gomez menjadi cukup kokoh. Sistem permainan Persib seolah menunjang bagaimana tim bertahan dari serangan lawan.

Supardi Natsir meskipun sudah gaek namun masih tak tergantikan di posisi bek sayap kanan. Tidak hanya tetap kuat dalam bertahan, ia juga getol dalam menyerang, terbukti dengan dua (2) gol dan dua (2) assist yang sudah ia berikan. Sedangkan duet di belakang selalu diisi Bojan Malisic dan Victor Igbonefo. Jika salah satu tidak bermain, pemain pengganti cukup mampu menutup celah, entah Wildansyah (kini dipinjamkan ke klub lain), Al Amin Fi Sabilillah, atau Indra Mustafa. Setidaknya penjualan bek handal Persib musim lalu, Achmad Jufriyanto, tak membuat Persib pincang karena mendapatkan pengganti yang cukup sepadan.

Di bek sayap kiri, posisi yang biasa ditempati bek senior, Tony Sucipto, akhirnya diisi Ardi Idrus. Berbeda dengan Toncip yang gemar membantu penyerangan, Ardi sejauh ini masih lebih sering berfokus dalam bertahan. Peran Ardi begitu vital dalam bahu-membahu menahan gempuran lawan. Permainan ulet Ardi dalam bertahan terbukti pantas menggusur nama besar Tony Sucipto. Ardi merupakan pemain dengan jumlah tekel terbanyak di Liga 1 musim 2018 sejauh ini (berdasarkan data dari website Liga Indonesia). Di pos penting penjaga gawang, baik I Made Wirawan maupun Deden Natsir tak diragukan sama baiknya. Kombinasi pertahanan membuat gawang Persib tidak kebobolan dalam delapan (8) pertandingan.

Dalam sektor penyerangan, formasi Persib tak banyak berubah, Dedi Kusdinar dan Oh In Kyun di tengah, Gozhali Siregar dan Febri Haryadi di sayap, serta duet Ezzechiel N’Duassel dan Jonathan Bauman di pos penyerangan. Semua gol yang tercipta hingga pekan ke-16 (22 gol) berasal dari pemain asingnya, Ezzechiel menceploskan 13 gol sekaligus menjadi top scorer sementara di kompetisi.

Ezzechiel juga menjadi pemain terbanyak dalam menciptakan percobaan tembakan ke arah gawang dibanding pemain lainnya di Liga 1 sejauh ini (berdasarkan data dari website Liga Indonesia). Jumlah gol Persib lainnya disumbang oleh Bauman dengan 6 gol, dan In Kyun 3 gol. Pemain lokal baru mampu membuka keran gol di pertandingan ke-17, yakni Supardi dan Ghozali dengan masing-masing 2 gol.

Sedangkan jumlah Assist terbanyak Persib berasal dari Gozhali Siregar dengan lima (5) assist, diikuti Bauman dan Supardi dengan masing-masing dua (2) assist, lalu Febri, Dedi, Bojan, dan Ezzechiel dengan masing-masing satu (1) assist.

Pekerjaan Rumah untuk menjadi Juara

Pekerjaan rumah di sektor belakang sepertinya cuma sedikit. Kokohnya lini belakang sudah cukup baik, tidak lagi seperti pada turnamen pra-musim dan awal musim ketika sering kali kecolongan di menit-menit akhir. Yang perlu terus dipikirkan adalah bagaimana menjaga pemain inti dari cedera atau hukuman pertandingan, mengingat jadwal yang kian padat dengan adanya Piala Indonesia. Sejauh ini pemain pelapis di sektor pertahanan kinerjanya cukup baik, namun apakah pemain pelapis akan cukup baik untuk membantu Persib menjadi juara? Pemain pelapis harus mampu tampil sama baiknya dengan pemain utama ketika dibutuhkan tim selama 90 menit, bukan hanya tampil bagus ketika masuk dari bangku cadangan apalagi jika hanya untuk strategi membuang-buang waktu di menit akhir pertandingan.

Persib memang merupakan tim paling sedikit kebobolan, dan mampu mengantarkan Ezzechiel menjadi top scorer sementara. Akan tetapi, jumlah kemenangan yang diraih serta jumlah gol yang dicetak, memperlihatkan bahwa Persib masihlah bukan tim yang dominan. Terlebih di Liga Indonesia semua tim sangat kuat jika bermain di kandang. Hal ini membuat Persib tidak akan mudah melenggang hingga juara di akhir musim. Jika ingin tetap berada di puncak kelasemen hingga akhir musim, Persib harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Pekerjaan rumah terberat Persib adalah membenahi sektor penyerangan.

Ketergantungan dengan trio asing membuat Persib seolah kerepotan jika tiga-tiganya mati kutu. Seperti sudah disinggung di bagian atas, pemain lokal baru mampu mencetak gol di pekan ke-17, pekan terakhir paruh musim pertama. Sebelum pekan ke-17, semua gol dicetak pemain asing. Keran gol pemain lokal masih kurang mengalir deras untuk menyumbangkan gol bagi kemenangan Persib. Ini membuat Persib jarang menang dengan skor telak dan mengunci kemenangan lebih cepat. Kita selalu deg-degan hingga menit akhir saat melihat Persib bertanding karena sering hanya unggul selisih gol yang tipis.

Meningkatnya performa Ghozali dan Ardi di sektor kiri setidaknya menjadi bukti bahwa pembelian dua pemain yang terbuang dari klubnya (atau dari klub kasta kedua) tak sepenuhnya mengecewakan, bahkan memberi kejutan. Gomez mampu memaksimalkan peran Idrus dalam bertahan dan Ghozali dalam menyerang.

Justru Febri yang sudah dua musim digadang-gadang akan menjadi bintang Persib malah masih tampil kurang memuaskan. Gocekan, tusukan, dan adu sprint ala Febri di dua musim sebelumnya, belum sepenuhnya terlihat hingga paruh musim ini. Kontribusi Febri bagi terciptanya gol juga masih sangat minim, sejauh ini Febri baru membukukan satu (1) assist. Kombinasi Febri dengan duo striker masih minim dalam menciptakan peluang. Pun kebiasaan Febri menusuk ke tengah kemudian melepaskan tendangan keras dari luar kotak penalti, sejauh ini belum berbuah hasil, bahkan percobaan Febri kian menurun. Hal ini bisa jadi karena keahlian Febri sejak dua musim sebelumnya sudah dianggap ancaman serius oleh para pemain belakang lawan sehingga terus ditempel ketat, atau Febri masih belum sepenuhnya cocok dengan skema permainan yang dirancang pelatih Mario Gomez.

Selain itu, pemain pelapis di sektor sayap jika Febri atau Ghozali harus absen, harus segera dicarikan solusinya agar tidak ada gap yang terlalu jauh dalam permainan Persib. Kini di sektor sayap hanya tersisa nama Atep. Namun Atep sudah menua dan tak lagi selincah dahulu. Terkadang Supardi di dorong ke depan jika Febri harus absen, Supardi malah lebih tokcer dibanding Febri dengan dua (2) gol dan dua (2) assist.

Di sektor tengah, kinerjanya masih kurang dalam sektor penyerangan. Kontribusi In Kyun dan Dedi dalam memberikan umpan manja ke sektor depan masih minim. Pun pemain pelapis yang mampu mengisi kekosongan keduanya.

Di sektor depan, jelas Persib sangat bergantung pada duo penyerang asingnya. Tanpa kehadiran keduanya, Persib masih buntu. Pemain pelapis seperti Airlangga Sucipto dan Mukhlis Hadi Ning belum mampu memberi banyak kualitas. Kini Persib mendatangkan Patrick Wanggai, kita lihat saja bagaimana hasilnya.

Suburnya Ezzechiel tentu menggembirakan, namun di sisi lain mengkhawatirkan. Persib tanpanya seolah masih kebingungan mencari sosok target man di dalam kotak penalti. Ezzechiel yang lihai dalam bola-bola atas (6 dari 13 gol lewat sundulan) membuat pemain lain memanjakannya dengan umpan-umpan silang. Namun ketika Ezzechiel absen, Persib seolah kebingungan, masih terus memberi umpan silang padahal gaya permainan Bauman tidak seperti Ezzechiel. Persib seolah masih meraba-raba menemukan skema penyerangan lain yang cocok dengan penyerang selain Ezzechiel. Kini dengan adanya Patrick Wanggai yang juga berpostur lumayan tinggi dan cukup lihai dalam bola atas, apakah Persib akan menemukan solusi pelapis Ezzechiel? Entahlah.

Harapan warga Jawa Barat untuk klub kebanggaannya bisa kembali juara tahun ini bisa saja terwujud jika Persib tetap mempertahankan konsistensi dalam permainannya, kokoh dalam bertahan dan terus memperbaiki skema penyerangan, termasuk opsi-opsi lain jika permainan terus buntu.

*Sumber gambar: Thumbnail (youtube.com), Kelasemen (superball.bolasport.com)

Bancakan: Tradisi yang Bertahan

Bagi masyarakat Jawa dan Sunda, ada satu tradisi yang menarik, yakni Bancakan. Menurut KBBI Online, bancakan diartikan sebagai selamatan / kenduri, atau hidangan yang disediakan dalam selamatan. Secara realita, bancakan diartikan sebagai tradisi makan bersama dalam satu wadah besar yang dilakukan oleh banyak orang, secara lesehan, untuk memperingati sesuatu. Bancakan semacam hajatan atau kendurian mini. Bila momen besar dalam hidup seperti khitanan anak atau perkawinan, akan dilangsungkan hajatan atau kendurian yang mengundang banyak orang, maka bancakan biasanya hanya melibatkan tetangga dekat.

Bancakan biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu seperti hari kelahiran anak, atau hari lahir sesuai weton anak, atau ketika anak bisa berjalan kaki, dan lain sebagainya. Bahkan semakin berkembang mengikuti perkembangan zaman, membeli motor baru pun dilakukan bancakan.

Sebagai rasa syukur akan momen tertentu, keluarga membuat (atau kini bisa membeli) makanan yang cukup banyak untuk disantap bersama. Di kampung saya di Cirebon, Jawa Barat, biasanya makanan berupa nasi liwet atau nasi kuning, beserta lauk pauknya yaitu tahu, tempe, telur, ikan asin, urap, lalapan, dan sambal. Menu yang tak seberapa mewah karena memang bisa dibuat di kampung-kampung.

Makanan tersebut disediakan di atas wadah besar yang dialasi daun pisang, seperti nampan, atau tampah. Keluarga kemudian mengundang para tetangga untuk makan bersama, atau bancakan. Tentu cara ini lebih hemat dan memunculkan ikatan sosial dibanding memberi hadiah atau makanan kepada tetangga satu per satu secara terpisah.

Selain itu, tradisi bancakan juga mengajarkan bahwa semua orang berada pada posisi yang sama rendah, yakni lesehan. Tua-muda semua sama, bahkan menjadi tradisi yang menarik bagi anak-anak untuk ikut makan bersama. Semua makan bersama dengan tangan tanpa rasa jijik. Semua makan dengan tertib, terkadang saling berebut lauk tertentu tapi semua dilakukan dengan gembira tak sampai bergelut satu sama lain. Bancakan memberikan suka cita bagi keluarga yang berbahagia dan tetangganya yang ikut serta.

Sangat khas spiritualitas masyarakat Jawa, bahwa dalam rangka mensyukuri momen tertentu dalam hidup, tidak hanya dilakukan dalam sikap individualitas, namun juga memiliki dimensi sosial. Suka atau tidak, dimensi sosial, ikatan sosial antar masyarakat di pedesaan, menjadi perekat sosial yang menyatukan dan menjadi katup pengaman sosial saat pemerintah masih sering absen memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dengan ikatan sosial yang terbentuk, masyarakat saling membutuhkan dan mengandalkan satu sama lain, tak melulu bergantung dengan hadirnya (program) pemerintah. Dalam konteks itulah, makna lain selametan termasuk bancakan ini dalam tradisi, juga sebagai penolak bala (menolak nasib buruk). Dalam ajaran agama, selalu ada hak orang lain dalam harta kita, dengan berbagi maka hak orang lain telah disampaikan. Pun rasa syukur akan mendapatkan ganjaran yang lebih dari Tuhan. Dalam dimensi sosial, ikatan sosial yang terbentuk, semangat gotong royong, akan mampu mencegah dan mengatasi hal-hal buruk dalam hidup seperti kemiskinan, kelaparan, dan lain sebagainya. Toh tetangga-lah, orang di sekitar kita-lah yang akan menolong kita saat tertimpa musibah. Pun kebaikan yang tersebar akan mampu menyelamatkan kita dari keburukan meski tanpa kita duga.

Sebagai tradisi yang masih cukup bertahan di pedesaan, karena tak terlalu membutuhkan biaya besar seperti hajatan atau kendurian, bancakan potensial terus bertahan di tengah masyarakat. Meskipun begitu, bancakan lebih sering masuk dalam pemberitaan negatif di media karena dipakai sebagai istilah untuk korupsi misalnya bancakan anggaran negara. Bancakan diartikan secara negatif seperti anggaran negara (ibarat makanan) dikorupsi bersama-sama para koruptor.

Dalam tradisi Jawa dan Sunda, keluarga yang mengadakan bancakan, juga akan melemparkan uang koin (dan sedikit beras) dalam jumlah tertentu untuk diperebutkan, di kampung saya, disebut surak. Semua tetangga biasanya ikut serta memperebutkan, tua-muda atau anak-anak semua gembira penuh tawa berebut uang yang tak seberapa. Sungguh kontras dengan perilaku koruptor yang bancakan uang rakyat untuk mengisi perutnya sendiri, bahkan tetap penuh senyum saat sudah terciduk KPK.

(Ini momen bancakan dalam rangka peringatan keponakan saya yang baru bisa berjalan)

(Ini pelengkap bancakan, yakni Surak, melemparkan uang koin dalam jumlah tertentu untuk diperebutkan. Begitu ramai diikuti tua-muda dan anak-anak, penuh tawa meski berebut uang tak seberapa)

Pertamax Naik, Premium Sering Langka

Beberapa hari lalu, harga BBM non-subsidi kembali naik. Tak mengherankan memang, karena penentuan harga BBM non-subsidi mengikuti pasar. Maka jika pasar mengharuskan harga BBM non-subsidi ikut naik, ya mau bagaimana lagi?

Pemerintah seolah tak ambil pusing. Toh itu kewenangan Pertamina, bukan pemerintah. Sedangkan Pertamina sendiri harus mengikuti fluktuasi pasar, di saat yang sama harus untung, jika terus merugi, mau dipecat?

Baca lebih lanjut